Ketahanan Pangan Masa Wabah COVID-19
Tidak menentunya cuaca akhir-akhir ini telah membawa kerugian bagi petani. Hujan yang berulang kali turun pada musim yang seharusnya masih musim kemarau (April – September) telah menurunkan produktivitas tanaman pangan.
Apalagi dengan adanya wabah Covid 19, yang tiba-tiba melanda negara kita mengharuskan kita menguras semua tabungan dan cadangan untuk hidup selama pemerintah melaksanakan program lock down. Jika ini terus terjadi maka bisa terjadi kelangkaan pangan, minimal di tingkat lokal. Apabila suplai pangan berkurang padahal permintaan pangan tetap, maka instabilitas harga tak terhindarkan. Sudah semestinya ancaman ini harus bisa diantisipasi dalam ketahanan pangan.
KIM Lumintu Kecamatan Ngemplak mengikuti diskusi online Ketahanan Pangan Masa Wabah COVID-19 dengan tema “Aktivasi Lumbung Desa Dalam Cluster Tingkat RT/ Dasawisma”. Diskusi ini menghadirkan narasumber yang kompeten Anam Masrur (Praktisi Permakultur), Harry Cahya (pengembangan pemanfaatan lahan sela), Qomarun Najmi (Sekti Muda) dan Moderator Muhammad Mustafid, pada hari Kamis, 16 April 2020 pukul 16.00 WIB dan dikuti 42 peserta.
Menurut Harry langkah yang harus dilakukan untuk ketahanan pangan pertama, memetakan kebutuhan. Kedua, memetakan potensi wilayah. Perencanaan lumbung desa pada klaster terkecil perlu bermusyawarah dan belajar bersama dalam menentukan strategi yang tepat. Semua teknologi tepat guna untuk penyimpanan, gudang, maintenance tidaklah rumit dan dapat dilakukan bersama masyarakat.
Menurut Anam, dengan adanya wabah Covid 19 ini kesempatan bagi komunitas untuk menghitung kebutuhan real-nya, kemudian menjalin kerja sama dengan petani, melalui pembelian gabah, lalu disimpan dan menjadi lumbung pangan. Lumbung dibagi menjadi: lumbung benih, lumbung pangan, dan lumbung hidup (polo kesimpar, Polo kependem, dan Polo gumandul). Lumbung desa tidak hanya dipahami sebagai bangunan fisik tradisional. Secara fisik biasanya dilengkapi dengan gudang, tempat penjemuran, dan penggilingan padi maupun fasilitas lain.
Sistem lumbung sebagai pusat cadangan pangan, terutama di kawasan pedesaan, kini semakin sulit ditemukan. Sisa kearifan lokal (indigenous knowledge) telah terkikis oleh perubahan zaman.
Setidaknya ada 4 penyebab sistem lumbung semakin terpinggirkan. Pertama, kecenderungan petani berperilaku konsumtif yang cenderung lebih suka berbelanja daripada menabung. Hasil panen yang berlimpah kadang mendorong petani hanya berpikir bagaimana bisa segera menjualnya dan mendapatkan uang.
Kedua, masuknya model-model kelembagaan lain yang banyak berkembang. Banyak lembaga keuangan yang memberikan fasilitas perkreditan dengan syarat mudah bagi petani. Petani cenderung berpikir praktis tanpa berusaha belajar memanage permodalan usaha taninya sendiri.
Ketiga, adanya petani yang terjerat dengan sistem ijon. Terdesak kebutuhan dan keinginan hidup, petani rela menjual komoditasnya sebelum panen kepada tengkulak. Akibatnya, ketika panen tidak ada komoditas yang bisa dikelola bisnisnya oleh lumbung desa.
Keempat, sikap petani yang cenderung apatis. Eksistensi lumbung desa sebenarnya didasari pada sikap kekeluargaan dan kegotongroyongan masyarakat desa. Seiring pudarnya nilai-nilai tersebut akibat dampak globalisasi maka lambat tapi pasti lumbung desa akan ditinggalkan.
Terpinggirkannya lumbung desa pada saat ini jelas sangat disayangkan. Di tengah kondisi petani selalu dipermainkan pasar dalam masalah harga, lumbung desa (dalam pengertian luas) sangat dirindukan. Banyak manfaat yang bisa dirasakan jika petani kita kembali ke lumbung desa.
Menurut Qomar pada saat ini petani panen dengan harga murah, tidak punya pilihan lain selain menjual. Pada kondisi ini diperlukan buffer. Komunitas level RT bisa menjadi mata rantai distribusi alternatif. Berikutnya, saat nanti mulai menanam, diperlukan kebutuhan bersama akan kebutuhan pangan, dll, sehingga pertanian ke depan kita lebih baik. Pada mulanya lumbung desa lebih dipahami sebagai penyimpan (buffer stock) hasil panen padi saja. Keberadaannya diperlukan untuk mengantisipasi adanya bencana alam, gagal panen (kondisi alam atau serangan hama). Perkembangan selanjutnya lumbung desa berfungsi sebagai pengendali harga jika tejadi kelebihan produksi. Ketika panen raya harga akan cenderung turun. Adanya lumbung desa petani dapat mengatur suplai produksinya sambil mengunggu harga yang paling baik di pasar.
Lumbung desa juga biasa dimanfaatkan sebagai penyimpan benih. Petani zaman dulu biasa menyisihkan beberapa hasil panennya untuk dipilih mana yang paling berkualitas untuk dijadikan benih. Benih ini tetap dibiarkan dengan kondisi utuh bertangkai dan diikat kemudian disimpan di dalam lumbung desa.
Lebih jauh lumbung desa bisa dimaknai sebagai institusi ekonomi di tingkat pedesaan. Sebagai institusi ekonomi lumbung desa juga bisa menangani kredit atau permodalan petani, distribusi, dan fungsi logistik lainnya.
Lebih penting dari itu dengan adanya lumbung desa akan semakin memupuk rasa kekeluargaan dan kegotongroyongan masyarakat desa yang menjadi ciri khas bangsa ini. Dengan adanya lumbung desa maka peran Bulog sebagai lumbung pangan nasional diharapkan tidak tumpang tindih. Bulog diharapkan mendukung keberadaan lumbung desa dengan menjalin hubungan kemitraan terkait masalah teknis dan komoditas pangan.
Kemitraan tersebut bisa melalui mekanisme jual beli beras dari lumbung ke Bulog dengan harga yang sesuai. Malah ke depan lumbung desa bisa menjadi pilar-pilar ketahanan pangan nasional. Jika suatu bangsa bisa mempertahankan ketahanan pangannya maka gejolak sosial dan politik rakyatnya bisa diredam.
Mengaktifkan kembali sistem lumbung memang bukan perkara mudah. Dibutuhkan kerja sama dari semua pihak. Pemerintah bisa memberikan stimulus melalui program-program pemberdayaan petani baik berupa hibah, pelatihan, pendampingan, dan lain-lain. Petani mengelola sendiri atas dasar musyawarah tanpa rekayasa dan berdasar kebutuhan faktual mereka. Biarkan kearifan pangan kembali tumbuh di kalangan petani tanpa terkooptasi oleh kepentingan bisnis para pemodal.
-Pak De-