Dusun Ngalian, Widodomartani, Ngemplak, Sleman “Menuju Kampung Empon-Empon”
Alam Indonesia merupakan sumber yang melimpah bagi bahan-bahan untuk ramuan jamu. Jamu digunakan oleh bangsa Indonesia, baik untuk menjaga kesehatan di dalam tubuh maupun merawat kecantikan. Tilaar membagi penggunaan jamu ke dalam 5 kategori, yaitu sebagai obat, perawatan kesehatan, perawatan kecantikan, tonik dan minuman, dan penguat daya tahan tubuh.
Hal ini yang menguatkan Kandang Kebo dan Masyarakat dusun Ngalian ingin membudidayakan Empon-Empon ini sebagai komoditas potensi dari kampung ini melihat Luas Pekarangan warga yang belum optimal di gunakan, konsumsi empon-empon sangat tingi dibutuhkan masyarakat dan fenomena pemilihan obat herbal lebih di minati.
Empon-empon adalah sekumpulan akar tanaman yang menjadi rempah dan berperan penting dalam perawatan kesehatan. Termasuk dalam empon-empon meliputi jahe, kunyit, lengkuas, temulawak, dan beberapa lainnya. Tanaman ini amat identik dengan Nusantara, dan semakin diakui nilai dan khasiat kesehatannya terutama setelah masyarakat modern semakin melihat cara hidup sehat sebagai bagian dari peradaban.
Dalam pengolahan, empon-empon atau akar tanaman ini sering dipadu dengan bahan-bahan dari tanaman lain yang menghasilkan ramuan kesehatan. Pengolahan dan hasil inilah yang dikenal sebagai jamu atau jejamuan.
Jamu dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sejak berabad-abad lalu. Resepnya diwariskan dari generasi ke generasi dan berkembang seiring waktu.
Catatan pertama mengenai penggunaan jamu tertera pada relief di Candi Borobudur, dibuat pada abad 8 Masehi. Di sana terdapat relief pohon kalpataru yang merupakan pohon mitologis yang menyimbolkan kehidupan abadi. Di bawah pohon tersebut terdapat relief orang-orang sedang meracik berbagai bahan untuk membuat jamu.
Jamu kemudian berkembang lebih jauh di keraton Yogyakarta dan Surakarta (Solo). Istilah “djamoe” sendiri dimulai sejak abad 15–16 M, seperti tertulis dalam primbon di Kartasura. Uraian jamu secara lengkap terdapat di Serat Centhini yang digubah oleh tiga pujangga keraton Surakarta pada 1810–1823. Uraian pada Serat Centhini ini merupakan catatan terbaik mengenai praktik pengobatan orang Jawa zaman dulu.
Pada 1850, R. Atmasupana II menulis sekitar 1.734 ramuan jamu. Istilah “djamoe” merupakan singkatan dari “djampi” yang berarti doa atau obat dan “oesodo” (husada) yang bermakna kesehatan. Dengan kata lain, djamoe berarti doa atau obat untuk meningkatkan kesehatan.
Sumber: Minta Harsana, 10 April 2019. https://www.facebook.com/minta.harsana.5/posts/1118343235011259?notif_id=1554860847273699¬if_t=tagged_with_story
Mantap banget Kecamatan Ngemplak.
Sukses selalu.
Semoga semakin maju